Agama Konghuchu Sejarah Dan Ekstensi Umat Di Indonesia
Agama Konghuchu merupakan sistem kepercayaan, filsafat, dan tata nilai ajaran-ajaran Kong Zi atau Konfusius sebagai ajaran moral dan etika.
Sejarah Agama Konghuchu
China mempunyai sejarah yang panjang dan mulai tiada tandingnya. Legenda berlalu jauh ke masa purba, dan menceritakan dengan samar-samar kedatangan bangsa China dari Barat, dan awal kebangkitannya, memberikan pola kepada semua pewarisnya, yakni menangani rakyatnya sebagai anak-anaknya, dan menciptakan kesenian di mana kehidupan China bergantung. Ketika sejarah mereka dimulai sekitar 2700 SM, watak, sifat, dan lembaga-lembaga di China telah mapan. Mereka telah berbudaya, dan telah mempunyai agama yang terorganisir, tetapi tak seorang pun yang dapat menceritakannya. Konghucu adalah kepercayaan masyarakat tradisional Tionghoa terhadap ajaran ahli filsafat China bernama Konfusius atau Kong Fu-tze. Ajarannya mengandung unsur pembentukan akhlak mulia dan memadukan alam pikiran.
Kepercayaan ini disebut juga dengan Konfusianisme. Kong Fu-tze adalah nabi terakhir agama Konghucu. Ia lahir pada 27 bulan 8 tahun 0001 Imlek atau 551 SM di Desa Ch’ang Ph’ing, Qufu, negara feodal Lu, dalam masa pemerintahan dinasti Zhou. Pembentukan agama Konghucu di Indonesia baru dimulai abad ke-19. Pada 17 Maret 1900, 20 pemimpin Tionghoa mendirikan lembaga sosial kemasyarakatan Khonghucu bernama Tiong Hoa Hwee Kwan yang bertujuan untuk memurnikan agama dan menghapus sinkretisme. Gerakan Kongfusianisme gelombang pertama terjadi pada 1901 melalui peresmian Tiong Hoa Hwe Koan Batavia (Asosiasi Tionghoa Batavia). Setengah abad setelah itu, pada 1955, para keturunan Tionghoa membentuk Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN), dewan tertinggi agama Khonghucu di Indonesia.
Ajaran Agama Konghuchu
Konghucu mengajarkan dua nilai dalam hidup ini. Pertama, Yen yang berarti hubungan ideal antarmanusia. Di dalam diri manusia harus terdapat kebaikan, budi pekerti, cinta, dan kemanusiaan. Dalan jurnal “Mengenal Pokok-pokok Ajaran Konghucu” yang ditulis Ahmad Zarkasi, Kong Fu-tze menyatakan “Janganlah berbuat sesuatu terhadap orang lain yang tidak tuan ingini akan menimpa diri tuan sendiri”. Konghucu mengajarkan hal-hal berikut:
- Orang harus menggunakan nama-nama yang baik dan benar.
- Orang harus memiliki sifat-sifat Chung Yun, tetap berada di tengah antara hidup berlebih-lebihan dan kekurangan, sehingga dapat mendatangkan keseimbangan terhadap perbuatan berlebih-lebihan.
- Orang harus menjaga lima hubungan timbal balik, antara lain: hubungan antara ayah dan anak, saudara tua dengan saudara muda, suami istri, teman sebaya, serta penguasa dengan masyarakat.
Pemuka Agama Konghuchu
Menurut pandangan Konghucu, dunia dibangun atas dasar moral. Jika moral masyarakat dan negara rusak, maka tatanan alam akan tertanggu. Itulah yang mendatangkan bahaya peperangan, banjir, gempa, kemarau panjang, penyakit, dan lain-lain.
- Jiao Sheng, berperan sebagai penyebar agama melalui khotbah atau bimbingan belajar. Jiao Sheng umumnya berusia 18 tahun.
- Wen Shi, guru agama bagi para Jiao Sheng yang akan membantu mengarahkan dan memberikan mereka dalam leaksanakan tugas. Wen Shi harus berusia minimal 21 tahun.
- Xue Shi, pendeta agama. Sebagai pemilik tahkta tertinggi, Xue Shi bertugas membimbing Jiao Sheng dan Wen Shi dalam mengembangkan ajaran Agama Konghucu.
- Zhang Lao, tokoh agama atau rohaniawan tidak bisa melaksanakan kegiatan organisasi keagamaan dengan sepenuhnya karena faktor usia.
Kitab Agama Konghuchu
Riwayat hidup dan pengajaran Konghucu terdapat dalam kitab Lun Yu, berisi kumpulan perkataan Kong Fu-tze yang disusun oleh para pengikutnya setelah ia wafat. Kitab ini ada tiga versi, yakni naskah kuno, Shi’I, dan Lu. Saat ini, masyarakat Tionghoa paling banyak menggunakan kitab Lun Yu versi Lu. Selain itu, ada enam buku klasik agama Konghucu yang ditulis oleh Kong Fu-Tze.
1. Shu Ching
Kitab Shu Ching mengandung 100 dokumen sejarah dinasti-dinasti kuno Cina dari abad 24 SM sampai 8 SM. Buku ini menjelaskan keadaan Cina di zaman Purba dan tetap menyangkut ajaran keagamaan serta kesusilaan. Dari buku ini dapat diketahui bagaimana timbul tenggelamnya Negeri China dizaman Purba, yang menyangkut ajaran keagamaan dan kesusilaan.
2. Shih Ching
Kitab ini berisi kumpulan kitab puisi dari masa lima abad pertama dinasti Chan. Kong Fu-Tze menulis kitab Shi Ching agar para pengikutnya mengetahui tentang budaya dan sastra puisi yang mengandung nilai-nilai moral. Ada 300 lebih sajak-sajak pilihan di dalamnya.
3. Yi Ching
Kitab Yi Ching berisi tentang sistem filsafat yang fantastis dan menjelaskan arti dasar tentang Yin (wanita) dan Yang (laki-laki). Kitab Yi Jng ini sudah menjadi milik dunia, tetapi yang ditulis dalam bahasa Indonesia masih bersifat pengenalan. Dalam buku ini penulis menjelaskan tiga metode untuk berkosultasi.
4. Li Chi
Kitab ini menguraikan tentang upacara-upacara tradisional untuk menanamkan kedisiplinan, kehalusan budi, keagungan, dan tingkah laku sopan santun dalam bermasyarakat. Dengan catatan bahwa Li Chi adalah pernyataan perasaan dalam upacara kuno, bahwa Li Chi tanpa adalah semu, dan jangan dilakukan praktek yang merendahkan derajat.
5. Yeo, kitab musik.
Pada masa Kong Hu Chu, musik sangat erat sangkut pautnya dengan sajak. Maka ketika beliau menyunting puisi-puisi lama, belau menyusun suatu pengaturan musik yang mengiringi setiap sajak-sajaknya. Beliau kadang-kadang merevisi nada yang lama atau menciptakan lagu baru. Sayang tak sebuah pun dari musik-musik ini masih ada.
6. Chu’un Ch’ii
Kitab ini berisi uraian tentang musim semi dan musim gugur. Kitab ini juga menggambarkan peristiwa di negeri Lu sejak tahun pertama pemerintahan pangeran Yiu (722 SM) sampai tahun ke-14 masa pemerintahan pangeran Ai (481 SM). Tema sentral dari buku ini adalah untuk membangun norma-norma pemerintahan yang baik, membimbing pangeran yang menyeleweng kembali ke tempatnya yang tepat, dan mengutuk menteri-menteri yang salah urus sehingga dengan demikian akan mengokohkan persatuan dan perdamaian dunia.
Baca Juga: Mayoritas Agama Di Indonesia Yang Memiliki Penganut Terbanyak
Agama Konghucu Di Cina Dan Indonesia
Agama Konghucu di Indonesia memiliki suatu keunikan, dimana terlihat agama ini memiliki perbedaan dengan Konghucu di Cina maupun di negara lain. Dalam hal keyakinan akan Tuhan ini berbeda, dikarenakan adanya keharusan mengimani Tuhan di Indonesia yang akhirnya menjadikan Agama Konghucu di Indonesia ini memiliki Tuhan yang mereka sebut Dewa. Meski terdapat perbedaan dalam hal teologi, fungsi kelenteng hampir di berbagai negara memiliki kesamaan, yakni sebagai tempat yang yakni beribadah kepada dewa yang disembah. Apabila di kelenteng di berbagai negara diperbolehkan beribadah untuk agama lain, di Indonesia diutamakan untuk orang yang beragama Konghucu daripada yang beragama lain. Selain itu mengenai ajaran Konghucu di Indonesia lebih lengkap, sebab apabila kita melihat di Cina lebih meyakini ajaran akan patuh kepada pemerintahan, oleh sebab itu masyarakat di Cina sudah banyak yang tidak beragama.
Pada sejarahnya kelenteng yang digunakan untuk beribadah umat Konghucu di Indonesia lebih dikenal sebagai litang, sebab kelenteng lebih digunakan untuk agama TRIDHARMA (Buddha, Taoisme, dan Konghucu). Secara arsitektur pada litang ini mengikuti kepercayaan ajaran Cina, seperti masih menggunakan feng shui, ornamen-ornamen yang diyakini memberikan suatu positive vibes dalam lintang dengan warna merah yang mendatangkan kebahagiaan, berkat, kejayaan serta kehidupan yang sukses.