Carok Madura – Tradisi Duel Celurit Yang Kerap Menimbulkan Korban Jiwa
Carok madura adalah istilah yang digunakan dalam budaya madura yang mengarah pada suatu tradisi adu pedang atau pertarungan antara dua individu atau kelompok.
Tradisi ini terikat erat dengan sejarah dan budaya kota Madura, meskipun tidak selalu direkam dan terbuktikan secara tertulis dalam sebuah catatan sejarah resmi. Namun, tradisi ini telah menjadi bagian yang sangat penting dari identitas sosial dan budaya para masyarakat Madura. Secara cerita masyarakat madura sendiri, tradisi ini diyakini telah ada sejak jaman dahulu di madura dan semakin berkembang sebagai bagian dari budaya dan adat istiadat masyarakat madura.
Asal-Usul Dan Sejarah Carok Madura
Carok secara historis juga sejarah telah dilakukan oleh berapa dari masyarakat Madura sejak beberapa jaman dahulu secara turun-temurun. Berdasarkan catatan dokumen pada masa kolonial yang ditulis oleh dua orang yang ahli dalam antropologi Belanda, De Jonge dan juga TouwenBouswma, mencatat bahwa carok madura mulai muncul ketika awal mula pada abad ke-19. Carok terkait dengan sebuah kisah seorang mandor dikebun tebu daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang biasa dikenal dengan nama Pak Sakera. Pak Sakera, yang sebenarnya memiliki nama Sudirman dan mempunyai darah Madura, tinggal di Pasuruan.
Ia menggunakan sebuah senjata celurit sebagai bentuk simbol perlawanan terhadap penindasan Belanda yang kejam. Pada saat perusahaan Belanda berusaha mendapatkan tanah-tanah dengan memakai cara kekerasan, Pak Sakera memberontak serta meawan penindasan itu dan dicap sebagai kriminal juga menjadi buronan pemerintah. Meskipun pada akhirnya dia berhasil di tangkap dan setelah itu dia dieksekusi. Peristiwa ini memicu para masyaraka untuk melakukan perlawanan menggunakan senjata celurit.
Para tentara belanda kemudian menggunakan blater untuk menekan dan menghilangkan pemberontakan, yang pada saat itu memanfaatkan celurit sebagai senjata. Meskipun dimulai sebagai sebuah simbol danbentuk perlawanan, senjata celurit kemudian dijadikan sebuah simbol sebagai senjata bagi jagoan dan para penjahat oleh Belanda. Meskipun penjajah Belanda telah pergi dari Indonesia, tradisi ini masih diwarisi dan dilestarikan oleh sebagian para masyarakat Madura.
Baca Juga: Budaya Batak Karo: Warisan yang Kaya dan Mengagumkan
Penyebab Terjadi Carok
Didalam kehidupan masyarakat Madura, melecehkan istri dan anak orang lain merupakan suatu hal yang sangat memalukan bagi suaminya juga keluarganya. Masyarakat Madura mengartikan istri sebagai bagian dari sebuah kehormatan laki-laki, sehingga bentuk pelecehan dalam bentuk apapun berarti mencari sebuah kematian. Salah satu prinsip hidup yang dipegang masyarakat Madura yaitu membalas sesuatu sama persis dengan apa yang diperbuatnya juga yang diterimanya. Bila ada seorang anggota keluarga yang terbunuh atau tewas, maka keluarga lainnya juga akan membalas dengan sebuah cara yang sama.
Pemenang dari Carok selalu mengambil dan menyimpan baju serta senjata lawan yang telah dibunuhnya dan setelah itu memberikannya kepada anak atau para kerabat dekat dari pelaku Carok yang terbunuh. Yang mempunyai tujuan untuk membalaskan dendam atas kematiannya. Hal ini membuat tradisi ini menjadi sesuatu yang di ikuti serta diwariskan secara turun temurun. Dalam masalah sengketa, tradisi ini dijadikan sebagai salah satu cara terakhir untuk menyelesaikan sebuah masalah. Pihak yang bersangkutan dengan sengketa akan mengadakan sebuah musyawarah terlebih dahulu untuk mencapai sebuah kesepakatan damai. Jika tidak terjadi kesepakatan damai maka Carok diterapkan.
Carok Menurut Masyarakat Madura
Dengan adanya sebuah kebiasaan melakukan tradisi madura ini dengan menggunakan cara nyelep, etika yang mempunyai arti kejantanan berubah menjadi brutali dan egois. Tradisi ini sendiri telah membawa konotasi dampak negatif terhadap para masyarakat Madura. Orang Madura dikaitkan dengan perilaku yang kasar serta arogan, bahkan orang cenderung menganggap mereka menakutkan. Pendapat ini menjadi pandangan masyarakat sekarang, meskipun tidak selalu benar dan mencerminkan realitas yang sebenarnya, hal ini juga memberikan citra buruk pada masyarakat Madura.
Meski masyarakat Madura dipandang dengan negatif, studi pada tahun 2015 menunjukkan sebuah hasil yang sebaliknya. Berdasarkan data hasil analisis, ditemukan empat sikap individu terhadap tradisi ini meliputi: 75 persen tidak senang mempunyai tradisi carok, 60 persen tidak ingin melakukan carok, 77,38 persennya, menyelesaikan persoalan secara bijaksana tanpa carok, dan 77,40 persen tidak ingin melakukan tradisi ini karena telah taat terhadap hukum negara dan juga agama.
Studi Kasus Yang Terjadi
Pada april 2017 ada sekitar tiga orang tewas dan dua lainnya terluka parah dalam carok massal ini. Peristiwa carok terjadi di sebuah Dusun Naporah, Desa Ketapang Timur. kronologi carok masal ini berawalan dari dugaan sebuah santet. Salah seoran warga bernama saraton mengalami sebuah penyakit dengan kondisi tubuh perut mengembung yang terjadi sekitar 2 tahun lalu dan saat hari sabtu pada tanggal 8 april 2017 saraton meninggal.
Februari 2021 adu carok kembali terjadi di Balai Desa Banangkah, Kecamatan Burneh. Carok terjadi antar para pendukung pilkades. Seorang warga bernama Mustofa terkena sebuah sabetan senjata tajam celurit yang melukai dibagian punggung serta lengannya. Insiden memilukan ini terjadi saat rapat sebuah pembentukan panitia Pemilihan untuk Kepala Desa Banangkah. Saat pembentukan, terjadi sebuah pertikaian antara aparatur desa setempat dengan seorang calon Kepala Desa berinisial A dan para sejumlah pendukungnya.
Januari 2024 ada empat orang yang tewas dalam peristiwa adu carok yang terjadi pada tanggal 12 Januari 2024 lalu. Kronologi dari peristiwa perkelahian yang melibatkan senjata tajam atau carok terjadi di Desa Banyu Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Jawa Timur. Heru mengungkapkan, peristiwa tersebut bermula ketika HB (40) tengah nongkrong sendirian di pinggir jalan sambil bersiap-siap untuk menghadiri acara tahlilan. Dari arah selatan tiba-tiba ada sebuah sepeda motor melintas kencang merasa sedikit terganggu, HB menegur keduanya. Kedua orang tersebut kemudia tidak terima dan memanggil kawannya Hb mu pun lantas pulang dan mengajak adik nya untuk melakukan carok kepada mereka peristiwa ini menewaskan empat orang.
Dampak Negatif Carok Madura
Dr. A. Latief Wiyata mengatakan bahwa budaya ini sesungguhnya memang sarat dengan suatu nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja saati ini nilai-nilai positif tersebut tertutupi dengan perilaku negatif. Sehingga muncul opini tentang orang Madura, dan lahir citra yang buruk dan tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka kepada masyarakat dan kebudayaan selalu cenderung negatif.
Pernyataan ini tampaknya memang sulit didihindari karena mempunyai dua faktor geografis dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat tinggal orang Madura mengalami sebuah proses sosialisasi sejak awal perputaran kehidupannya, letaknya cukup dekat dan menghadap langsung dengan Pulau Jawa, tempat para orang Jawa mengalami proses serupa.Oleh sebab itu dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sebuah sentuhan budaya sedangkan kebudayaan Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan. Maka dalam ajang persentuhan budaya ini masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.
Kedua, bukti sejarah telah menunjukkan bahwa secara politik hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan Jawa. Fakta ini semakin dipertegas posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura ingin mengekspresikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya mereka dalam realitas kehidupan sosial akan selalu cenderung tenggelam oleh pesona dari nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa. Simak dan ikuti terus jika ingin mengetahui berbagai informasi seputar adat dan suku hanya dengan klik link berikut ini storyups.com