Kerajaan Buton: Sejarah, Politik, dan Warisan Budaya di Sulawesi Tenggara

Kerajaan Buton, yang kemudian bertransformasi menjadi Kesultanan Buton, warisan budaya dan politik di wilayah Sulawesi Tenggara.

Kerajaan Buton: Sejarah, Politik, dan Warisan Budaya di Sulawesi Tenggara

Dibawah ini akan membahas berbagai aspek menarik dari kerajaan ini, termasuk asal-usulnya, struktur politik dan pemerintahan, kehidupan sosial dan budaya, kegiatan ekonomi, kepercayaan agama, serta kemunduran dan warisannya.

tebak skor hadiah pulsa 100k  

Asal-Usul dan Sejarah Awal

Kerajaan Buton diyakini didirikan pada abad ke-14 oleh Mia Patamiana, yang berarti “empat orang”. Mereka adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati, yang berasal dari Semenanjung Malaya. Mereka mendirikan pemukiman bernama Wolio.

Yang kini menjadi bagian dari kota Baubau, dan membentuk empat wilayah kecil tradisional yang disebut Limbo, yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu. Setiap Limbo dipimpin oleh seorang bonto, yang kemudian dikenal sebagai patalimbona.

Keempat Limbo ini, bersama dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga, dan Batauga, bersatu dan memilih penguasa pertama sekitar tahun 1300-an, yaitu Wa Kaa Kaa. Wa Kaa Kaa menikah dengan Si Batara, yang diyakini sebagai keturunan Majapahit.

AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!

aplikasi shotsgoal  

Struktur Politik dan Pemerintahan

Kesultanan Buton dikenal sebagai monarki konstitusional dengan konstitusi tertulis bernama Murtabat Tujuh. Konstitusi ini diformalkan oleh Sultan La Elangi (1597–1631) dan tidak banyak berubah hingga kesultanan dihapuskan. Tidak seperti kerajaan lain di wilayah tersebut, Kesultanan Buton memiliki sistem pemerintahan yang unik.

Dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, sistem peradilan, dan kekuasaan eksekutif. Sistem pemerintahan ini disebut Adatu Azali, yang didasarkan pada tula-tula dan kabenci-kabenci. Dua golongan elit memegang peranan penting dalam pemerintahan, yaitu Kaomu yang merupakan golongan bangsawan tempat sultan dipilih, dan Walaka yang dikenal sebagai kelompok adat.

Baca Juga:

Sosial dan Budaya

Masyarakat Buton terbagi menjadi empat kelas sosial: Kaomu, Walaka, Papara, dan Batua. Kaomu adalah kelas bangsawan yang berhak memilih sultan dan menduduki jabatan-jabatan tertentu. Walaka juga termasuk dalam elit penguasa dan bertugas memilih sultan.

Papara adalah penduduk desa yang tinggal dalam komunitas yang relatif otonom, sedangkan Batua adalah budak yang biasanya bekerja untuk Kaomu atau Walaka. Setelah tahun 1906, perbudakan dihapuskan, namun地位 mereka meningkat secara perlahan. Bahasa yang umum digunakan adalah Wolio, Cia-cia, dan Moronene.

Kegiatan Ekonomi & Perdagangan

Kegiatan Ekonomi & Perdagangan

Mata pencaharian utama masyarakat Buton adalah pertanian, dengan tanaman utama berupa jagung, umbi-umbian, dan padi ladang. Selain itu, mereka juga menjual surplus tanaman tersebut, serta tanaman komersial seperti tembakau, kacang tanah, dan kacang mete. Di desa-desa pesisir, perikanan memegang peranan penting, dan hasil tangkapan dijual di pasar.

Masyarakat Buton dikenal sebagai pelaut ulung di Nusantara Timur, menjadi pedagang dan pengangkut barang dengan perahu mereka yang berkapasitas hingga 50 ton. Perdagangan budak juga menjadi bagian penting dari ekonomi Buton pada abad ke-17 dan ke-18.

Kepercayaan dan Agama

Islam adalah agama yang dominan di wilayah Buton. Agama Islam diadopsi secara resmi pada masa pemerintahan Raja La Kilaponto, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis setelah masuk Islam. Penyebaran Islam dari pusat ke desa-desa dilakukan secara bertahap oleh kaum elit, dengan tujuan menjaga ketergantungan masyarakat desa.

Di pusat pemerintahan, Islam diterima dalam bentuk mistisisme atau Sufisme, yang berkembang pada abad ke-17 di Aceh dan kemudian mempengaruhi Buton. Salah satu ciri khas Sufisme di Buton adalah kepercayaan pada reinkarnasi. Selain Islam, kepercayaan tradisional terhadap makhluk dan kekuatan gaib juga masih berperan dalam kehidupan masyarakat desa.

Kesimpulan

Kesultanan Buton dapat bertahan hingga masa pemerintahan orde lama. Namun, pada akhir abad ke-19, zawiyah (institusi pendidikan Islam) mengalami kemunduran sejak ditinggalkan oleh para pendirinya. Faktor lain yang menyebabkan kemunduran adalah konflik internal dan campur tangan dari kekuatan asing seperti VOC.

Meskipun demikian, warisan Kesultanan Buton tetap hidup dalam berbagai bentuk, termasuk Benteng Keraton Buton yang megah, masjid-masjid bersejarah, dan tradisi-tradisi budaya yang unik. Simak dan ikuti terus informasi terlengkap tentang Archipelago Indonesia terlengkap yang akan kami berikan setiap harinya.


Sumber Informasi Gambar:

  1. Gambar Pertama dari detik.com
  2. Gambar Kedua dari kemenparekraf.go.id

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *