|

Meriahnya Tradisi Dugderan Semarang, Sambut Ramadan Warak Ngendok

Tradisi Dugderan di Semarang menyambut bulan Ramadan dengan kemeriahan unik, memadukan bunyi bedug, dentuman meriam, dan atraksi Warak Ngendok.

Meriahnya Tradisi Dugderan Semarang, Sambut Ramadan Warak Ngendok

Festival ini menghadirkan pasar kaget, karnaval budaya, dan ritual pengumuman puasa, menyatukan masyarakat lintas generasi. Dugderan bukan hanya hiburan, tetapi juga simbol toleransi, gotong royong, dan nilai spiritual.

Warisan budaya ini terus dilestarikan, memikat wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus menjaga identitas budaya Semarang di era modern. Dibawah ini Anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran Archipelago Indonesia.

tebak skor hadiah pulsabanner-free-jersey-timnas

Meriahnya Tradisi Dugderan Penyambut Ramadan Semarang

Tradisi Dugderan menjadi salah satu perayaan paling meriah di Semarang untuk menyambut bulan Ramadan, memadukan bunyi bedug dan meriam dalam festival budaya yang penuh warna. Acara ini menarik ribuan warga sejak pagi hingga sore, dengan pasar kaget, kirab budaya, dan atraksi Warak Ngendok yang ikonik.​

Dugderan berasal dari kata dug bunyi bedug dan der dentuman meriam, melambangkan pengumuman resmi awal puasa melalui ritual suara yang menggema ke seluruh kota. Festival ini tidak hanya hiburan, tapi juga pengingat spiritual yang menyatukan masyarakat lintas generasi.​

Setiap tahun, Simpang Lima Semarang menjadi pusat kegadahan, di mana warga berbondong-bondong menikmati suasana khas yang mencerminkan harmoni budaya Jawa dan Islam di kota pelabuhan ini.​

AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!

aplikasi shotsgoal  

Sejarah Lahirnya Dugderan di Era Kolonial

Tradisi ini pertama kali digelar sekitar tahun 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat untuk menengahi perbedaan pendapat umat Islam soal awal Ramadan akibat keterbatasan komunikasi saat itu. Ia memerintahkan pemukulan bedug 17 kali diikuti meriam 7 kali sebagai sinyal resmi.​

Pada masa kolonial, acara dimulai di halaman Kabupaten Semarang dekat Masjid Agung Jawa (Masjid Kauman), dengan upacara adat sebelum bunyi ritual yang menjadi tonggak persatuan. Sejak 1882, Dugderan resmi menjadi warisan budaya tak benda yang lestari hingga kini.​

Inovasi bupati ini mengubah konflik menjadi tradisi tahunan, menunjukkan kepemimpinan visioner yang memadukan otoritas pemerintahan dengan nilai keagamaan masyarakat Semarang.​

Baca Juga: Menjelajahi Pulau Anjing Surga Tropis di Tengah Papua

Pelaksanaan Ritual dan Atraksi Budaya

Dugderan dimulai pukul 08.00 dengan pasar kaget yang menjajakan makanan tradisional, diikuti karnaval arak-arakan termasuk mobil hias dan boneka raksasa Warak Ngendok yang melambangkan krisis pangan masa lalu saat telur jadi barang mewah. Halaqah pengumuman puasa menyusul, ditutup doa bersama.​

Puncaknya adalah pemukulan bedug di Masjid Agung sebanyak 17 kali. Direspons dentuman meriam bambu 7 kali, diselingi letusan mercon dan kembang api yang memukau penonton. Warak Ngendok, makhluk mitos setengah harimau setengah naga, menjadi simbol kekuatan dan kesuburan.​

Kegiatan berlangsung hingga Maghrib, menciptakan euforia kolektif yang memperkuat ikatan sosial. Dengan partisipasi penuh dari anak muda hingga lansia dalam suasana syukur menyambut bulan suci.​

Makna Filosofis dan Pelestarian Tradisi

Dugderan melambangkan toleransi dan gotong royong, mengubah perbedaan menjadi persatuan melalui ritual suara yang meresap ke hati masyarakat. Angka 17 dan 7 filosofis mewakili hari puasa dan siklus kehidupan, mengajarkan kedisiplinan spiritual.​

Sebagai warisan budaya Kemendikbud, tradisi ini terus dilestarikan melalui sosialisasi sekolah dan festival tahunan, mencegah pudar di era digital sambil menarik wisatawan budaya. Sejarawan Unnes menilainya unik karena perpaduan agama dan adat lokal.​

Masyarakat Semarang bangga mempertahankan Dugderan sebagai identitas kota. Memastikan generasi mendatang mewarisi nilai harmoni di tengah modernisasi yang pesat.​ Tradisi ini menjadi jembatan antara sejarah dan masa kini, mengajarkan pentingnya persatuan, toleransi, serta rasa syukur kepada masyarakat.

Jangan lewatkan update terbaru seputar Archipelago Indonesia yang memberikan keunikan dan budaya yang masih di lestarikan sampai saat ini.


Sumber Informasi Gambar:

  1. Gambar Pertama dari www.detik.com
  2. Gambar Kedua dari bali.viva.co.id

Similar Posts