Suku Badui – Asal-Usul Dan Kelompok Masyarakatnya
Suku Badui adalah kelompok masyarakat adat sunda wilayah pendalaman di Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan penduduk sekitar 26000 orang.
Suku Badui adalah salah satu dari kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Bukan itu saja, mereka juga mempinyai keyakinan tabu, untuk di dokumentasikan, terutama masyarakat di wilayah badui Dalam. Suku Badui di anggap sebagai masyarakat sunda yang belum terpengaruh oleh modernsasi atau kelompok yang hampir sepenuhnya jauh dari dunia luar. Selain itu mereka juga mempunyai keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya masyarakat wilayah Badui Dalam.
Istilah “wisata” maupun “pariwisata” untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka di tolak oleh masyarakat badui. Sejak tahun 2007, mereka mendeskripsikan wilayahnya dan untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut. Mereka memperkenalkan istilah “Saba Budaya Badui”, yang memiliki makna “Silaturahmi Kebudayaan Badui”. Sebutan “Badui” adalah diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, awalnya dari penyebutan para peneliti Belanda yang sepertinya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat nomaden atau masyarakat yang berpindah-pindah. Kemungkinan lain yaitu karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Jika kita lihat dari apa yang mereka anut, masyarakat Kanakes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh batara yang di utus di bumi. Hal ini sering sekali di kaitkan dengan nabi Adam yang merupakan nenek moyang kita. Dalam kiepercayaan mereka Adam dan keturunannya memiliki tugas bertapa untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat tentang asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan beberapa bukti sejarah seperti prasasti, cerita rakyat tentang “Tatar Sunda” yang cukup minim keberadaannya, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok. Masyarakat Kanekes di libatkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran. Wilayah ujung barat pulau Jawa ini adalah bagian penting dari Kerajaan Sunda. Sebelum Kesultanan Banten berdiri.
Asal Usul Suku Badui
Banten adalah pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung bisa dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan sebagai pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut yakni Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Itu sebabnya diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih, tujuannya demi menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Hal ini menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut. Perbedaan pendapat ini membawa kepada dugaan bahwa di masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, tujuannya adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht yang merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan di tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut pendapatnya, orang Kanekes merupakan penduduk asli daerah tersebut yang memiliki daya tolak kuat terhadap pengaruh luar. Orang Kanekes sendiri pun juga menolak kalau dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran. Menurut Danasasmita dan Djatisunda orang Badui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala atau kawasan suci secara resmi oleh raja. Karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan, bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal sebagai kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Asli” atau Sunda Wiwitan itulah sebabnya agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Baca Juga: Suku Buton – Mengenali Sejarah Dan Budaya Sulawesi Tenggara
Kelompok Masyarakat Badui/Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi atas tiga kelompok di antaranya tangtu, panamping, dan dangka. Berikut ini penjelasannya:
Kelompok Masyarakat Tangtu
merupakan kelompok yang dikenal sebagai Kanekes/Badui Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yakni warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikertawana, dan juga Cikeusik. Orang Kanekes Dalam memiliki ciri khas yakni pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) dan memakai ikat kepala putih. Secara adat mereka dilarang untuk bertemu dengan orang asing. Kanekes Dalam tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Berikut ini peraturan yang dianut oleh Orang Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak boleh memakai alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara atau selatan kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat
- Tidak diperbolehkan menggunakan alat elektronik ataupun teknologi
- Menggunakan kain berwarna hitam atau putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri.
- Tidak di perbolehkan untuk memakai pakaian modern
Kelompok Masyarakat Kenakes Panamping
Merupakan kelompok Kanekes Luar atau Badui Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, yakni Cikadu, Kadukolot, Kaduketuk, Gajeboh, Cisagu. Masyarakat Kanekes Luar ciri khasnya yakni mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).
Kanekes Luar adalah orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Berikut ini penyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka sudah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- mempunyai niat untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan masyarakat Kanekes Luar
Ciri khas masyarakat Kanekes Luar
- Mereka sudah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
- Proses pembangunan rumah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dan lain sebagainya, yang sebelumnya menjadi larangan oleh adat Kanekes Dalam
- Memakai pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua untuk laki-laki, ini menandakan bahwa mereka tidak suci. Terkadang juga menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Memakai peralatan rumah tangga modern, seperti contoh kasur, bantal, piring atau gelas kaca dan plastik.
- Menghuni di luar wilayah Kanekes Dalam.
- Sebagian di antara mereka sudah terpengaruh dan berpindah agama.
Jika Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Kanekes Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras atau Cibengkung dan Sirahdayeuh atau Cihandam. Kampung Dangka tersebut fungsinya sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Mata Pencarian Masyarakat Suku Badui
Seperti yang telah terjadi selama ratusan tahun, jadi mata pencaharian utama masyarakat Kanekes yaitu bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan cara menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan di antara buah itu adalah durian dan asam keranji, dan madu hutan. Bertani adalah pekerjaan utama masyarakat Badui dan padi merupakan tanaman utama yang di budidayakan. Orang Badui biasanya menanam padi ladang atau ngahuma. Mereka pantang apabila menanam di sawah, jadi mereka tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Alat pertanian yang digunakan mereka yakni parang dan tunggak untuk memasukkan benih. Di ladang orang Baduy akan menanam padi satu kali dalam setahun dengan menggunakan benih lokal. Masa tanam hingga panen biasanya membutuhkan waktu selama lima bulan.