Suku Tengger – Masyarakat Yang Tinggal Didataran Tinggi Gunung Merapi
Suku Tengger adalah suku yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo, suku ini biasa disebut oleh Orang Jawa dengan nama Tengger atau Wong Brama.
Suku ini menjadi salah satu penduduk asli yang bertempat tinggal dikawasan dataran tinggi pegunungan Tengger, bromo dan semeru yang terletak di kepulauan jawa timur. Masyarakat Tengger tidak hanya tingal dikawasan gunung namun juga tersebar di beberapa daerah sekitar seperti Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Pasuruan.
Asal Usul Suku Tengger (Wong Brama)
Tengger berasal dari bahasa jawa yang berarti tegak, tengger juga bisa berasal dari singkatan tangering budi luhur. Namun masyarakat suku tengger percaya jika nenek moyang mereka berasal dari suku tangger asli yang berasal dari majapahit. Hal ini dikaitkan dengan masa kerajaan hindu di pulau jawa. Teori ini diperkuat dengan Prasasti Walandhit yang berangka 851 Saka atau tahun 929. Yang menceritakan adanya sebuah pedesaan yang bernama Walandhit di pegunungan tengger merupakan salah satu tempat suci yang didiami oleh Hyang Hulun atau abdi tuhan.
Ciri-Ciri Khas Suku Tengger
Ciri khas Suku Tengger dapat kita lihat dari cara hidup mereka serta hasil budaya yang masih dapat kita amati hingga saat ini. Masyarakat Tengger dalam kesehari harian mereka menggunakan bahasa Jawa Tengger sebagai bahasa daerah mereka. Rumah adat Suku Tengger dikenal dengan bentuk atap nya yang unik.
Atapnya memiliki bentuk meruncing dan meninggi serta menumpuk ke atas. Dengan bubungan yang tinggi, rumah adat Suku Tengger hanya mempunyai 1-2 jedela saja. Selain itu, dibagian depan rumah pasti ada bale-bale atau tempat untuk duduk-duduk tau tempat untuk bersantai Archipelago Indonesia.
Agama Suku Tengger
Agama asli orang Tengger kemungkinan adalah sejenis campuran antara agama hindu-buddha pada zaman Majapahit dengan beberapa elemen pemujaan kepada para leluhur, berbeda pada agama Hindu Dharma dari Bali. Kepercayaan mereka disebut dengan agama Hindu Jawa atau Buda Tengger. Untuk membedakan dengan agama Buda Jawa dan Buda Bali. Pada tahun 1970an, orang Tengger terpaksa harus menganut agama resmi yang telah diakui pemerintah untuk menghindari tuduhan sebagai salah pendukung PKI.
Sebagian besar pemimpin adat menyerukan untuk menganut agama hindu dharma yang berasal dari Bali. Yang pada saat itu lebih dulu mendapat pengakuan resmi dari pemerintahan, karena terlihat kemiripan dalam tata cara peribadatan. Namun dukun pandhita desa Ngadas di Kabupaten Malang, menolak usulan itu. Penduduk desa itu kemudian menganut agama buddha. Dan ada juga sebagian menganut agama Islam atau kristen, terutama penduduk di kawasan lereng bawah. Beberapa desa bahkan telah sama sekali meninggalkan tradisi Tengger sehingga terlihat tidak ada lagi perbedaan dengan penduduk suku Jawa kebanyakan. Namun, desa Wonokerto di Probolinggo tetap menjalani hidup dengan cara Tengger, walaupun terbatas hanya pada interaksi sehari-hari.
Orang suku Tengger terkenal dengan ke taatan mereka akan aturan dan agama Hindu. Meskipun mereka telah menganut agama Hindu Dharma, tradisi-tradisi mereka yang sebelumnya tetap dilaksanakan. Penduduk suku Tengger dipercayai merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit. Nama Tengger berasal dari sebuah legenda Rara Anteng dan Jaka Seger yang diyakini sebagai awal mula nama Tengger, yaitu Teng akhiran dari nama Rara An-teng dan ger akhiran dari nama Jaka Se-ger. Cerita legenda tersebut simpang siur dan belum terbukti akan kebenaran nya.
Baca Juga: Ritual Potong Jari – Menelusuri Arti di Balik Tradisi Kuno Papua
Kebudayaan Suku Tengger
Bagi suku Jawa Tengger, Gunung Bromo dipercaya sebagai gunung yang suci. Setiap setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan sebuah upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini berlokasi di sebuah pura yang terletak di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo setelah itu dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Sebelum didirikan pura tempat tersebut hanyalah pelataran dari semen, tempat seluruh dukun pandhita se-Tengger melakukan Upacara Kasadha. Upacara diadakan pada tengah malam sampai dini hari pada saat bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 pada bulan kasada (keduabelas) menurut penanggalan Tengger.
Beberapa upacara kalenderis yang terjadi setiap tahun pada waktu yang selalu sama dalam kalender Tengger antara lain:
1. Upacara Pujan
Upacara pujan sendiri dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu, sebagai berikut:
- Pujan Kapat dilakukan pada bulan ke-4 (Kapat) di rumah kepala desa/dukun pandhita di setiap masing-masing desa.
- Pujan Kapitu dilakukan pada bulan ke-7 (Kapitu) pada tanggal ke-15 di rumah kepala desa/dukun pandhita di setiap masing-masing desa.
- Pujan Kawolu dilakukan pada bulan ke-8 pada tanggal ke-1 di rumah kepala desa/dukun pandhita di setiap masing-masing desa
2. Upacara Galungan
Upacara yang dilaksanakan pada wuku Galungan. Tradisi ini tidak sama dengan hari raya Galungan dalam agama Hindu Bali. Sejak orang Tengger menganut agama Hindu Bali, maka setelah itu perayaannya kemudian disatukan dengan Hari Raya Galungan.
3. Unan-unan/Mayu Bumi
Upacara paling terbesar yang dilakukan sekali setiap 8 tahun wuku atau setiap 5 tahun masehi. Dilakukan ketika tahun Pahing/tahun landhung (tahun panjang) pada kalender Tengger yang terdiri dari 13 bulan. Tahun ini terjadi setiap 5 tahun sekali
4.Upacara Kasada
Upacara yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur dan harapan agar dijauhkan dari segala macam bentuk malapetaka di kemudian hari caranya adalah dengan menghanyutkan hasil bumi ke dalam kawah Gunung Bromo. Upacara ini merupakan salah satu hari raya umat Hindu Tangger
Partisipasi Suku Tengger Dalam Pariwisata
Keberhasilan pengelolaan Taman Nasional yang lestari tergantung pada bagaimana peran masyarakat suku Tengger dalam pengelolaan Taman Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi masyarakat Suku Tengger dengan kawasan sekitar, kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger, peran suku Tengger di Desa Ranupani dalam pengelolaan Taman Nasional, serta harapan pengelolaan terhadap Taman Nasional kedepannya. Metode penelitian yang dipakai yaitu menggunakan metode fenomenologi. Pengambilan data diambil dengan observasi partisipatif, dan wawancara mendalam.
Suku Tengger menggunakan ritual dan kebudayaan mereka untuk melestarikan tanahnya. Mereka berpartisipasi dalam menjaga lingkungan kawasan dataran tinggi tempat mereka tinggal di pegunungan bromo. Masyarakat Suku Tengger yang telah menerima budaya dari luar, memiliki standar hidup lebih baik dibanding mereka yang masih tertutup. Penampilan mereka juga berubah menjadi lebih bersih dan rumah pun lebih tertata rapi.
Masyarakat suku tengger saat ini juga ramah dan mampu berbaur kepada para wisatawan dan para pendaki yang ingin mengunjungi tempat wisata yang berada di kota mereka seperti Gunung Bromo. Adat dan upacara mereka pun menjadi suatu pertunjukan yang menarik bagi para wisatawan yang dimana itu juga menjadi penunjang ekonomi mereka dengan ramai nya para pengunjung yang sekedar mampir ataupun berkunjung ke daerah mereka. Jika ingin mengetahui informasi sejarah lainnya klik link dibawah ini storyups.com